Memperingati Hari Buruh Internasional (May Day) yang akan berlangsung pada Rabu (1/5) besok, sejumlah komunitas perempuan yang tergabung dalam Komite Aksi Perempuan akan melakukan aksi di Bundaran Hotel Indonesia, Jakarta.
Dalam aksinya nanti, komunitas perempuan yang terdiri dari berbagai organisasi buruh, organisasi perempuan, organisasi mahasiswa, hukum, organisasi anak dan sejumlah organisasi masyarakat sipil ini akan membawa instalasi besar berupa 'Buku Hitam' yang merupakan representasi Catatan Hitam Buruh Perempuan Indonesia dan akan diserahkan pada Presiden SBY di Istana Negara.
Dalam rilis yang diterima TNOL, Selasa (30/4), Komite Aksi Perempuan mendata banyak peristiwa hitam yang terjadi pada buruh perempuan di Indonesia sepanjang tahun ini. Buruh perempuan mengalami diskriminasi dalam pekerjaannya, mendapatkan perlakuan kekerasan seksual yang berakibat secara psikis, juga berakibat pada pemiskinan perempuan.
Sejumlah kasus menimpa buruh perempuan, antara lain kasus Omih, seorang buruh perempuan di Tangerang yang harus dipenjara karena mempertahankan haknya dalam bekerja. Omih, kemudian juga harus kehilangan anaknya karena perjuangannya dalam mempertahankan haknya bekerja.
Kasus kekerasan lain juga menimpa seorang jurnalis, Nurmala Sari Wahyuni di Kalimantan yang mendapat kekerasan dari orang tak dikenal ketika melakukan peliputan. Nurmala kemudian harus kehilangan bayi yang dikandungnya.
Kasus lainnya menimpa Satinah, perempuan buruh migran asal Ungaran, Jawa Tengah yang dieksekusi pancung. Hal ini terjadi karena Pemerintah RI tidak melakukan advokasi pada Satinah. Kasus Satinah juga menambah data 420 buruh migran yang terancam hukuman mati dan 99 lainnya yang sudah dieksekusi. Sejumlah buruh migran perempuan lainnya yang bekerja di luar negeri juga menjadi korban perdagangan manusia.
Kasus lain juga menimpa seorang buruh perempuan di Jawa Barat yang di-PHK oleh manajemen perusahaannya karena jujur menyatakan statusnya yang terkena HIV/AIDS. Beberapa kasus diskriminasi lain juga diterima buruh perempuan lain, seperti banyaknya kasus PRT (Pekerja Rumah Tangga) Anak yang hampir semuanya adalah perempuan. Para PRT Anak ini harus bekerja selama 14-18 jam sehari, bekerja lebih dari satu pekerjaan, diupah murah, tidak diberikan libur maupun cuti dan kehilangan waktu sosial mereka.
Sejumlah buruh yang bekerja di Jakarta Utara juga banyak mengalami pelecehan dan kekerasan seksual, seperti harus mau menikah dengan pengusaha/ majikan di pabrik agar diangkat sebagai karyawan tetap di perusahaan tersebut. Kasus pelecehan ini juga sering menimpa beberapa jurnalis perempuan yang dirayu oleh narasumbernya ketika mereka melakukan peliputan.
Diskriminasi lain diterima para buruh perempuan yang harus mengenakan busana tertentu karena kewajiban mengikuti hukum atau Perda (Peraturan Daerah) yang berlaku. Para buruh perempuan ini selain harus mengenakan busana tertentu, juga harus mematuhi penerapan jam malam bagi perempuan. Perda ini telah melakukan diskriminasi dan kekerasan terhadap perempuan yaitu mempersempit atau membatasi akses sosial bagi para buruh perempuan.
Di dalam organisasi, para buruh perempuan sangat minim mendapatkan posisi di dalam organisasi Serikat Pekerja. Mereka umumnya tidak diberikan kesempatan sebagai pemimpin. Di kalangan media, juga tak banyak pemimpin perempuan. Hanya sekitar 5% jurnalis perempuan yang menjadi pemimpin di medianya.
Secara umum, para buruh perempuan juga mengalami diskriminasi dalam penerimaan upah, asuransi dan fasilitas kerja. Semua kasus ini menandakan bahwa buruh perempuan telah mengalami kekerasan, diskriminasi dan mengalami upaya-upaya pemiskinan. Hal ini terjadi karena pengusaha/majikan tidak memberikan perlindungan pada para buruh perempuan ketika mereka bekerja, sedangkan pemerintah melakukan pembiaran terhadap pengusaha yang telah melakukan kekerasan, diskriminasi yang berakibat pada pemiskinan terhadap buruh perempuan.
Padahal, beberapa landasan hukum untuk jaminan diskriminasi dan tindakan kekerasan seksual sudah diratifikasi dan dikeluarkan negara, antara lain: Undang-Undang No. 7/ Tahun 1984 tentang Ratifikasi Konvensi Tentang Penghapusan Segala Bentuk Kekerasan Terhadap Perempuan (CEDAW), Undang-Undang No. 5 Tahun 1998 Tentang Ratifikasi Anti Penyiksaan dan Perlakuan atau Penghukuman Kejam, Tidak Manusiawi dan Bermartabat, Undang-Undang No. 24/ Tahun 2004 tentang Penghapusan Kekerasan Dalam Rumah Tangga, Undang-Undang No. 21/ Tahun 2007 Tentang Pemberantasan Tindak Pidana Orang, Undang-Undang Ketenagakerjaan 13/2003 dan Undang-Undang Serikat Pekerja 21/2000.
Atas semua kekerasan, diskriminasi dan pemiskinan perempuan ini, Komite Aksi Perempuan menyatakan sikap:
1. Menuntut pengusaha/majikan memberikan perlindungan kerja terhadap para buruh perempuan. Tidak adanya perlindungan kerja mengakibatkan para buruh perempuan mengalami diskriminasi, kekerasan dan pemiskinan.
2. Menuntut pengusaha/majikan melakukan komitmen sesuai dengan Undang-Undang, ratifikasi yang menjamin tidak adanya diskriminasi dan kekerasan seksual.
3. Menuntut Pemerintah agar tidak membiarkan pelanggaran-pelanggaran, kekerasan, dan diskriminasi terjadi pada buruh perempuan.
4. Menuntut Pemerintah menegakkan semua Undang-Undang dan ratifikasi yang terimplementasi dalam gerakan non-diskriminasi dan non kekerasan terhadap buruh perempuan.
Thanks for reading & sharing Info Sukabumi
0 komentar:
Post a Comment